Pejabat PLN Terduga Pelaku Kekerasan Bersajam dan Predator Seksual

Table of Contents
Katata.id - Jakarta. Predikat “perusahaan terbaik untuk bekerja” yang baru saja diraih PT PLN (Persero) dari Great Place to Work (GPTW) Indonesia tampaknya berbanding terbalik dengan kondisi internal perusahaan pelat merah tersebut. Di tengah sorotan publik, dua pejabat tinggi PLN kini menjadi buah bibir: satu diduga sebagai pelaku pelecehan seksual, dan satu lainnya terlibat dalam aksi kekerasan bersenjata tajam di jalan raya.

Predator Seksual di Lingkungan Kantor Pusat PLN
Informasi dari sumber internal PLN menyebutkan, sejumlah laporan pelecehan seksual yang dikirim melalui Employee Assistance Center (EAC) ke alamat eac@pln.co.id diduga tidak pernah ditindaklanjuti. Dugaan kuat, hal ini terjadi karena pejabat yang membawahi Divisi Health, Safety and Compliance (HSC) justru merupakan pelaku pelecehan tersebut.

Pejabat berinisial GA, yang menjabat sebagai Executive Vice President (EVP) HSC, disebut-sebut pernah mengakui perbuatannya langsung kepada Direktur Legal & Human Capital (LHC) PLN, Yusuf Didi Setiarto. Namun, hingga kini, yang bersangkutan masih menduduki jabatannya tanpa sanksi tegas.

“Hal yang mendasari EVP melakukan tersebut karena beliau adalah pelaku predator seksual yang sudah banyak korbannya,” ujar salah satu sumber di Kantor Pusat PLN, Jumat (7/11/2025).

Sumber tersebut juga menyebut, GA kerap mengabaikan laporan pelecehan dari karyawan perempuan dengan alasan “atas dasar suka sama suka,” tanpa mendengarkan keterangan dari korban terlebih dahulu.

Kasus Kekerasan Bersajam di Depok
Tak hanya itu, perhatian publik turut tertuju pada pejabat PLN lainnya, yakni EVP Bantuan Hukum berinisial CEN. Dalam video yang beredar luas di media sosial, CEN bersama keluarganya terlihat mengayunkan senjata tajam di jalan raya Cinere, Depok, pada 26 Oktober 2025.

Dalam rekaman tersebut, pelaku tampak mengeluarkan parang dari mobil Ford Double Cabin B 1444 ZJD dan mengejar seorang juru parkir hingga membuat warga sekitar panik.

Ironisnya, alih-alih dijatuhi sanksi, PLN disebut menyiapkan pengacara korporasi untuk membela yang bersangkutan. Kasus itu kemudian diselesaikan melalui mekanisme Restorative Justice (RJ). Padahal, menurut sumber internal, CEN memiliki catatan indisipliner dan pernah mangkir kerja selama berbulan-bulan.

Desakan Evaluasi dari Re-LUN dan IWO
Koordinator Nasional Relawan Listrik untuk Negeri (Re-LUN) yang juga Ketua Umum Ikatan Wartawan Online (IWO), Teuku Yudhistira, mengecam lemahnya tindakan PLN terhadap para pejabat bermasalah tersebut.

“PLN harusnya tegas menegakkan Kepmenaker No. 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja. Fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya — banyak kasus pelecehan dan perselingkuhan tanpa tindakan konkret,” tegas Yudhistira di Jakarta, Jumat (7/11/2025).

Terkait kasus CEN, Yudhis juga mendesak Propam Polda Metro Jaya untuk mengevaluasi keputusan Satreskrim Polres Metro Depok yang menyelesaikan kasus tersebut dengan RJ.

“Harusnya diterapkan Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan, Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, dan Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12/1951 tentang senjata tajam. Ini bukan kasus ringan,” ujarnya.

Yudhis juga menilai perlu dilakukan evaluasi terhadap Direktur LHC PLN, Yusuf Didi Setiarto, yang dianggap gagal menjalankan fungsi pengawasan terhadap bawahannya.
“Presiden dan Menteri BUMN harus meninjau ulang posisi Dirut PLN Darmawan Prasodjo, karena ini bentuk kegagalan manajerial di bawah kepemimpinannya,” tegasnya.

Pandangan Ahli Hukum: Penerapan RJ Tidak Tepat
Pengamat hukum Dicki Nelson, SH menilai tindakan membawa senjata tajam oleh pejabat publik merupakan tindak pidana serius.

“Perbuatan itu melanggar Pasal 351 KUHP dan Pasal 170 KUHP, serta Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951. Ancaman hukumannya bisa sampai 10 tahun penjara,” jelas Dicki di Jakarta, Jumat (31/10/2025).

Ia menilai penerapan Restorative Justice dalam kasus tersebut tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2021 dan Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020, karena kasus ini menimbulkan keresahan publik dan melibatkan pejabat publik bersenjata tajam.

“Penggunaan senjata tajam di ruang publik oleh pejabat tinggi PLN jelas melanggar hak konstitusional warga atas rasa aman sebagaimana dijamin Pasal 28G ayat (1) UUD 1945,” tegasnya.

Lebih lanjut, Dicki menekankan bahwa PLN wajib menindak secara etik dan disiplin internal.
“Dalam Kode Etik PLN dan Peraturan Menteri BUMN No. PER-06/MBU/04/2021, setiap pejabat BUMN wajib menjaga integritas dan citra perusahaan. Jika tidak, berarti PLN telah gagal menerapkan prinsip Good Corporate Governance,” pungkasnya.

(Redaksi | Katata.id)

Post a Comment

/
/
/