Pemutusan Kontrak Publikasi Diduga Balas Dendam Bupati Soppeng, Jurnalis, Kalau Tak Siap Dikritik, Mundur Saja
Table of Contents
Soppeng, Katata.id - Dugaan perlakuan diskriminatif terhadap sejumlah media di Kabupaten Soppeng mencuat setelah kerja sama publikasi dengan Dinas Pendidikan disebut dihentikan secara sepihak. Pemutusan kontrak itu terjadi tidak lama setelah beberapa media memuat pemberitaan kritis, termasuk perkembangan kasus alsintan yang masih ditangani Kejaksaan Negeri Soppeng. Jumat (21/11/2025)
Seorang wartawan Katata.id mengungkapkan bahwa pemutusan kerja sama terjadi mendadak. Menurutnya, kontrak publikasi yang sebelumnya berjalan rutin tiba-tiba dihentikan setelah redaksi mulai menyoroti kasus alsintan.
“Begitu kami menulis berita-berita kritis, langsung diputus. Tidak ada pemberitahuan, tidak ada evaluasi,” ujarnya.
Sumber internal Dinas Pendidikan yang meminta identitasnya dirahasiakan membenarkan adanya alokasi anggaran publikasi untuk media. Ia menyebut keputusan penghentian kerja sama datang dari pimpinan daerah, bukan semata bagian dari penyesuaian anggaran dinas.
Beberapa jurnalis menilai langkah tersebut sarat tekanan politik. Mereka menduga penghentian kontrak publikasi merupakan bentuk ketidaksenangan Bupati Soppeng terhadap media yang terus memberitakan perkembangan kasus alsintan.
“Kalau bupati tidak siap dikritik, mundur saja. Jangan pakai anggaran negara sebagai alat balas dendam,” kata seorang jurnalis senior di Soppeng.
Pengamat kebijakan publik menilai praktik ini berbahaya dan berpotensi menyalahi prinsip transparansi pengelolaan APBD. Ia menegaskan bahwa anggaran publikasi idealnya bertujuan menyampaikan informasi kepada masyarakat, bukan membungkam media kritis.
“Media kritis itu pilar demokrasi, bukan musuh pemerintah,” tegasnya.
Hingga berita ini dipublikasikan, Pemerintah Kabupaten Soppeng maupun Dinas Pendidikan belum memberikan klarifikasi terkait dugaan pemutusan kerja sama publikasi. Redaksi Katata.id masih berupaya meminta penjelasan kepada Bupati Soppeng mengenai dasar keputusan tersebut.
Kasus ini menyoroti dua isu utama, kebebasan pers dan tata kelola anggaran publik. Jika dugaan intervensi ini benar, hal tersebut dapat menjadi preseden buruk bagi iklim demokrasi di Soppeng, di mana anggaran publik seharusnya digunakan untuk pelayanan masyarakat, bukan sebagai alat represi.
(Sofyan)





Post a Comment