Dana Desa Jadi Lahan Main Sendiri, Proyek Lapangan Laside di Desa Pattojo Disorot Warga
Table of Contents
Aroma penyimpangan tercium dari proyek Penataan Lapangan Laside (Taman Desa) di Desa Pattojo, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng. Proyek bernilai Rp187.717.500 yang bersumber dari Dana Desa (DD) ini diduga kuat dikerjakan dengan mengabaikan aturan dan prinsip transparansi publik.
Upaya konfirmasi yang dilakukan media Katata.id kepada Kepala Desa Pattojo melalui sambungan telepon WhatsApp tidak mendapat respons hingga berita ini diterbitkan.
Selain tidak menerapkan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di lokasi proyek yang berada di Dusun Dabbare, muncul pula dugaan bahwa perangkat desa turut menjadi pelaksana di lapangan. Praktik semacam ini jelas menabrak regulasi yang berlaku dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dalam pengelolaan dana publik.
Larangan keterlibatan perangkat desa sebagai pelaksana proyek Dana Desa secara tegas diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2014 Pasal 79 ayat (4) yang berbunyi,
Perangkat Desa tidak boleh menjadi pelaksana kegiatan yang dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Selain itu, Permendagri Nomor 111 Tahun 2014 Pasal 14 juga mempertegas aturan serupa,
Perangkat Desa tidak dapat menjadi penyedia barang/jasa dalam pelaksanaan kegiatan Pembangunan Desa yang dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Aturan tersebut bukan sekadar formalitas di atas kertas. Tujuannya jelas, untuk mencegah konflik kepentingan, menghindari penyalahgunaan wewenang, serta menjaga transparansi dan akuntabilitas pengelolaan Dana Desa.
Namun, realitas di lapangan justru menampar logika akuntabilitas. Proyek yang seharusnya menjadi wajah kemajuan desa malah menampilkan potret buram tata kelola pembangunan. Para pekerja terlihat tanpa alat pelindung diri, tanpa helm, tanpa sepatu kerja,
Ini proyek Dana Desa, tapi kerja asal-asalan. Tukangnya saja tidak pakai alat pelindung, seolah proyek pribadi,” ungkap seorang warga Dusun Dabbare yang enggan disebut namanya.
Praktik seperti ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi berpotensi melanggar hukum. Ketika perangkat desa menjadi pelaksana proyek,
fungsi pengawasan otomatis lumpuh, sebab pelaksana dan pengawas berada dalam satu lingkaran struktur kekuasaan.
Publik pun mulai mempertanyakan, di mana peran pendamping desa, kecamatan, dan inspektorat?
Dengan nilai proyek mendekati Rp200 juta, masyarakat menilai kegiatan ini seharusnya dikelola secara profesional dan terbuka, bukan menjadi ajang bagi-bagi kerja” di lingkungan aparat desa. Ketiadaan penerapan K3 dan dugaan keterlibatan perangkat desa memperlihatkan lemahnya pengawasan serta kesadaran hukum di tingkat pelaksana.
Jika dugaan pelanggaran terhadap PP 43/2014 dan Permendagri 111/2014 terbukti, maka proyek Penataan Lapangan Laside layak diaudit secara menyeluruh oleh Inspektorat Kabupaten Soppeng dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD).
Mereka dituntut untuk tidak tinggal diam terhadap praktik yang berpotensi mencederai semangat akuntabilitas Dana Desa.
Dana Desa adalah amanah rakyat, bukan dompet pribadi aparat.
Ketika aturan dilanggar dan keselamatan kerja diabaikan, yang terkikis bukan hanya anggaran, tetapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintah desa dan semangat pembangunan berbasis masyarakat,
(Red)
Post a Comment